SMKN 1 Bantul
Siswa mendapatkan pelatihan perakitan dari relasi industri
selama dua hari sebelum merakit 240 unit LCD proyektor. Kini, setiap
siswa mampu merakit satu unit LCD proyektor dalam waktu 45 menit. Hasil
rakitan siswa SMKN 1 Bantul ini kemudian dibagikan ke 59 SMK di DI
Yogyakarta.
Luki Aulia
KOMPAS.com
- Tidak sampai dua bulan, 240 liquid crystal display proyektor hasil
rakitan siswa bernama Focus Esemka dibagikan dalam bentuk bantuan ke 59
SMKN di tiga kabupaten yang ada di DI Yogyakarta, yakni Bantul, Gunung
Kidul, dan Kulon Progo.
Sebanyak 128 siswa kelas XI dan XII
program keahlian Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) mendapat kesempatan
belajar merakit komponen 1-2 liquid crystal display (LCD) proyektor
didampingi guru yang rata-rata berlatar belakang pendidikan teknik
informatika. Saat ini, hanya dalam waktu 45 menit, setiap siswa mampu
merakit satu unit LCD proyektor. Tanggung jawab siswa tidak hanya
merakit, tapi juga memastikan hasil rakitannya berfungsi baik. Siswa
juga harus bisa menjelaskan proses perakitan, penggunaan, dan perawatan
LCD proyektor.
LCD proyektor merupakan perangkat yang dapat
menampilkan gambar dalam ukuran besar dan biasanya digunakan sebagai
alat bantu dalam presentasi. Spesifikasi LCD proyektor yang dirakit para
siswa antara lain daya tahan 4.000 jam dan memiliki kekuatan resolusi
hingga 1.000 lumen.
LCD proyektor telah dibagikan ke SMKN dengan
rincian, Bantul (22 sekolah), Gunung Kidul (29 sekolah), dan Kulon
Progo (8 sekolah). Masing-masing sekolah mendapat 3 sampai 6 unit LCD
proyektor.
”Sebelum dibagikan, satu per satu dicoba dan dicek
relasi industri kami, PT Focus Toolsindo,” kata Kepala Sekolah SMKN 1
Bantul Endang Suryaningsih.
Sebelum proses perakitan 240 unit LCD
proyektor bantuan pemerintah hasil kerja sama dengan PT Focus Toolsindo
dimulai pada Januari 2011, 20 orang perwakilan siswa dan guru mendapat
pelatihan perakitan dari perusahaan. Ke-20 orang itu kemudian
membagikan ilmunya ke siswa lain dan guru TKJ.
Menurut seorang
guru TKJ, Riki Andesco, awalnya siswa sempat kesulitan merakit komponen
berukuran kecil, seperti tombol lampu. Namun, selebihnya relatif
mudah. Apalagi, selama proses pengerjaan, siswa diperbolehkan saling
bantu. ”Pengerjaannya bisa cepat karena tinggal pasang di slot-slotnya.
Apalagi, ini proyektor yang masih standar,” ujarnya.
Jika ada
keluhan atau kebutuhan servis dari pengguna, para siswa bisa membantu
memperbaiki. Bahkan, sekolah bisa menyediakan suku cadangnya karena
sudah ada kerja sama dengan relasi industri. Tinggal pesan, dua atau
tiga hari kemudian suku cadang tersedia.
Kerja sama dengan relasi
industri ini membuka peluang sekolah berstatus rintisan sekolah
bertaraf internasional (RSBI) untuk menerima pesanan tidak hanya dari
sekolah atau instansi pemerintah, tetapi juga dari masyarakat umum.
”Banyak
sekolah yang menanyakan apakah kami masih merakit LCD proyektor untuk
dibagikan ke sekolah. Kami belum tahu karena tergantung dari pemerintah
pusat. Tetapi, kalau ada yang mau dirakitkan, setiap saat kami siap,”
kata Endang.
Bagi yang ingin membeli LCD proyektor Focus Esemka,
satu unit dipatok Rp 3,8 juta. Sampai saat ini, sekolah belum menerima
pesanan dari masyarakat karena belum ada upaya promosi. Di salah satu
ruangan di bagian depan sekolah masih terlihat beberapa dus LCD
proyektor yang ditata di atas lemari.
Selain LCD proyektor,
sekolah yang berlokasi di Jalan Parangtritis Kilometer 11 ini juga
merakit personal computer (PC) dan netbook hasil kerja sama dengan Zyrex
Komputer tahun 2010. Komputer rakitan SMK yang bermerek SMK Zyrex itu
memiliki logo bendera Merah Putih. Spesifikasi untuk PC prosesor
Pentium 4 dan dijual ke pasar dengan harga Rp 2,8 juta-Rp 2,9 juta per
unit. Adapun untuk netbook, prosesor yang digunakan Core Duo dengan
layar 10,2 inci dan bisa dijual Rp 2,5 juta-Rp 3 juta.
Unit produksi
Jika
hasil rakitan siswa sudah dilepas ke pasaran, laba atau keuntungan
penjualan akan kembali ke sekolah melalui unit produksi program keahlian
dan siswa. Sistem ini, kata Endang, telah dipraktikkan para siswa
program keahlian Pemasaran sejak tahun 2008. Bentuknya, minimarket
swalayan yang berlokasi di halaman depan sekolah. Selain masuk ke
rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah, siswa berhak atas laba
yang bisa dibawa pulang dalam bentuk uang tunai.
”Siswa bisa
mengambil dagangan barang kebutuhan sehari-hari di minimarket. Diberi
waktu seminggu untuk dijual. Setelah laku, uangnya kembali ke sekolah
untuk pengembangan usaha dan selisihnya bisa dinikmati siswa,” kata
Endang.
Bagi siswa program keahlian Pemasaran, cara ini merupakan
pembelajaran memasarkan produk. Dengan modal awal aset senilai Rp 17
juta yang diperoleh dari pemerintah, kini minimarket itu memiliki aset
hingga Rp 369 juta. Usaha minimarket itu, kata Endang, sedikit banyak
membantu sekolah yang menetapkan SPP Rp 125.000 per bulan per siswa.
Meski
diperbolehkan menarik pungutan karena statusnya sebagai RSBI, sekolah
tidak bisa menetapkan SPP di atas Rp 125.000 per bulan karena latar
belakang ekonomi mayoritas siswa (1.367 jumlah total siswa) berasal dari
keluarga menengah ke bawah.
”Sebagian besar orangtua siswa
bekerja sebagai buruh tani. Biaya sekolah sebesar itu saja masih banyak
yang tidak sanggup,” kata Endang.
Biaya sekolah yang relatif
murah tidak lantas menghasilkan kualitas lulusan rendah. Pada
Januari-Februari, sekolah tidak pernah sepi dari utusan- utusan
perusahaan dalam negeri ataupun luar negeri, seperti Malaysia dan
Jepang, yang datang untuk berburu dan mengijon sumber daya manusia
potensial dari sekolah itu.
(source :
KOMPAS.com)